Eksistensi Valentine dan Demoralisasi Generasi Muda Bangsa Oleh, Dr. Ahmad Salim. MPd

Eksistensi Valentine dan Demoralisasi Generasi Muda Bangsa Oleh, Dr. Ahmad Salim. MPd

 

jakarta.tribunnews.com

Oleh : Dr. Ahmad Salim. MPd

S1 Pendidikan Agama Islam Alma Ata – Barangkali tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa bulan Februari ini sebagai bulan kasih sayang, sebab pada bulan ini ada valentine, sebuah momen yang menurut mereka tepat untuk merayakannya bersama pasangan. Meskipun pandemi covid-19 belum menandakan ada penurunan, tetapi diperkirakan masih banyak orang yang akan memanfaatkan hari valentine tahun ini untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada orang yang dicintai dan mencintainya. Mereka mengekpresikan bentuk rasa cintanya melalui cara yang berbeda tergantung dari penghayatan dan uang yang dimilikinya. Mulai dari mengirim kartu valentine yang dihiasi dengan kartu cinta bergambar dewa cupid, mengirim coklat atau bunga, berkunjung ketempat wisata sampai pada menghadiri perayaan-perayaan valentine yang diselenggarakan oleh pemanfaat bisnis baik didalam negeri maupun luar negeri.

Kalau kita lihat realitas yang ada dari dulu hingga sekarang ini, penikmat dan orang yang merayakan valentine adalah generasi muda-mudi. Mereka banyak memanfaatkan  moment ini untuk menunjukkan rasa cintanya kepada kekasihnya atau justru memanfaatkan valentine untuk “menembak” calon kekasihnya. Kebanyakan dari generasi muda atau bahkan orang tua sekalipun yang merayakan atau memanfaatkan valentine tersebut hanya mengikuti kebiasaan-kebiaasan tersebut tanpa mengetahui secara jelas asal usul atau tujuan dari perayaan hari valentine tersebut.

Secara historis sebenarnya ada banyak versi/perbedaan mengenai asal usul dari  perayaan valentine. The World Book Encyclopedia (1998) melukiskan banyaknya versi mengenai Valentine’s Day. Salah satunya, adalah dikisahkan bahwa perayaan Lupercalia merupakan rangkaian upacara pensucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama, dipersembahkan untuk dewi cinta (queen of feverish love) Juno Februata. Pada hari tersebut, para pemuda mengundi nama–nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk senang-senang dan obyek hiburan. Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan dewa Lupercalia dari gangguan srigala. Selama upacara ini, kaum muda melecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dilecut karena anggapan lecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur. Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I (The Encyclopedia Britannica, sub judul: Christianity). Agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi Hari Perayaan Gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Book Encyclopedia 1998).

Bila kita lihat dari sisi sejarah maka sebenarnya tidak ada kaitan khusus antara apa yang dilakukan oleh generasi muda sekarang dalam merayakan dan memanfaatkan hari valentine dengan sejarah atau asal usul dari valentine tersebut. Bahkan ditengarai perayaan valentine sekarang kental dengan aroma kapital/bisnisnya dari pada sebuah bentuk perayaan kasih sayang. Artinya, pemanfaat bisnis memang sengaja mendesain sedemikian rupa hari itu menjadi hari kasih sayang dunia demi untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dari perayaan tersebut mulai dari penjualan coklat, kartu valentine, sampai pada penyedia tempat-tempat hiburan untuk merayakan valentine tersebut. Agaknya pebisnis telah berhasil menjadikan generasi muda diseluruh dunia sebagai objek penghasil keuntungan dari apa yang mereka usahakan selama ini. Keadaan ini dibuktikan dengan banyaknya tempat hiburan atau permainan yang menyuguhkan bentuk-bentuk kasih sayang banyak dibanjiri oleh generasi muda –mudi terutama dihari valentine.

Dalam kontek Indonesia, sebagai bangsa yang mempunyai adat ketimuran kuat, seharusnya kita semua mewaspadai terhadap semua budaya atau aktivitas dari luar negeri yang belum jelas asal usul atau tujuanya. Valentine selama ini jelas-jelas telah dimanfaatkan oleh pebisnis untuk meraup keuntungan dan ingin menjadikan bangsa kita sebagai objek dari usahanya tersebut. Bentuk usaha yang dilakukan telah banyak menyumbangkan demoralisasi bagi generasi bangsa kita. Kita bisa melihat pada setiap perayaan valentine pebisnis telah berhasil memikat generasi muda untuk mengikuti semua acara atau kegiatan yang dibuat yang terkadang telah jauh melanggar norma-norma agama seperti pesta dansa dengan berganti pasangan dan lainnya.

Tanggungjawab bangsa kita terhadap generasi muda agaknya sekarang menghadapi tantangan yang semakin berat, terutama di zaman transportasi dan informasi  yang ditandai dengan  arus informasi yang semakin cepat dan gamblang sekarang ini. Orang tua dan guru menjadi semakin tidak berdaya untuk menghadapi gempuran tersebut, akibatnya orang tua dan guru di sekolah cenderung permisif terhadap semua aktivitas yang dilakukan oleh anak atau anak didiknya. Prinsip yang dipegang orang tua atau guru selama ini terkalahkan oleh keelokan dan kenikmatan yang ditawarkan pebisnis melalui dunia maya yang ada pada gengaman mereka yang hampir setiap anak dapat mengasesnya, termasuk perayaan valentine ini.

Walaupun begitu, kita sebagai bangsa tidak boleh menyerah. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk melindungi generasi kita dari gempuran arus informasi tersebut di atas yaitu diantaranya: penanaman pendidikan akhlak dikeluarga, penanaman pendidikan budi pekerti di sekolah dan pengemasan perayaan valentine menjadi lebih bermoral dan beradab. Pendidikan termasuk didalamnya penanaman aklak paling efektif dilakukan didalam keluarga terutama dilakukan sejak dini.

Keluarga adalah sistem terkecil yang segala sesuatu dapat diajarkan dan ditanamkam di dalamnya. Oleh karena itu, orang tua harus tanggap dan mengerti segala perkembangan yang ada diluar yang barangkali dapat mempengaruhi moral anaknnya, termasuk perayaan valentine ini. Barangkali sekali-kali kita sebagai orang tua harus memaksa anak kita untuk melakukan aktivitas yang terpuji, lebih baik memaksanya kemudian itu menjadi kebiasan yang baik dari pada membiarkanya menjadi anak yang tidak terkendali yang dapat menjerumuskanya.

Kemudian penanaman budi pekerti di sekolah perlu ditingkatkan lagi. Walaupun budi pekerti bukan merupakan salah satu pelajaran yang berdiri sendiri tetapi setiap guru harus mengintegrasikan budi pekerti ini pada setiap pelajaran yang dia pegang. Setiap guru harus dapat menanamkan budi pekerti yang baik dengan penjelasan dan contoh kongkrit yang dapat ditiru dan diimplementasikan oleh muridnya termasuk menjelaskan tentang valentine yang tidak jelas asal usul dan tujuanya ini.

Terakhir adalah pengemasan peringatan valentine menjadi perayaan yang lebih beradab, lebih mementingkan sisi moralitas dan penghayatan akan cinta sejati terhadap kekasihnya. Barangkali ungkapan cinta bisa kita perluas tidak hanya kepada kekasih dalam artian pasangan kita, kita bisa memperluas kekasih dalam arti Sang Maha kuasa sehingga bentuk ungkapannya dapat berupa pembacaan doa, ampunan taubat, atau bentuk syukur terhadap apa yang telah diperolehnya selama ini. Pengiriman coklat atau bunga dan kartu dapat kita desain menjadi pengiriman pesan lewat medsos yang mengajak pasangan kita mengedepankan rasa cinta kita kepada sang pencipta. Usaha di atas dapat kita lakukan dan berhasil bila mendapat dukungan semua stakeholder termasuk negara .. Kalau itu dapat dilksanakan barangkali demoralisasi generasi bangsa sedikit dapat kita selamatkan di zaman yang serba permisif ini,,, semoga !!!!