EPISTEMOLOGI ISLAM (Kontribusi Islam Dalam Dunia Sains Modern) Oleh, Aida Hayani (Dosen PAI UAA)

EPISTEMOLOGI ISLAM (Kontribusi Islam Dalam Dunia Sains Modern) Oleh, Aida Hayani (Dosen PAI UAA)

allmipa.com

S1 Pendidikan Agama Islam Alma Ata – Kata epistemologi memang unik untuk dikaji karena bisa digabung dengan berbagai macam keilmuan dan istilah yang lain, seperti epistemologi tafsir, epistemologi kalam, epistemologi hukum Islam, epistemologi bayani, epistemologi burhani, epistemologi ‘irfani, dan lain-lain. Epistemologi merupakan bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang metode atau teori pengetahuan. Dalam tulisan singkat ini, penulis akan menjelaskan tentang epistemologi Islam terkait kontribusi sarjana-sarjana Muslim dalam bidang sains. Hal ini karena kata epistemologi bisa dipahami sebagai ilmu tentang pengetahuan secara umum. Oleh karena itu, tulisan singkat ini menjelaskan tentang Epistemologi Islam: Kontribusi Islam Dalam Sains Modern.

Tidak diragukan lagi bahwa Islam memiliki kontribusi besar dalam peradaban Barat (western civilization), tak terkecuali dalam bidang sains. Bahkan tanpa kontribusi ilmuwan Muslim, renaissans yang terjadi di Barat pada abad ke-14 sampai ke-16 tidak akan terjadi. Periode klasik telah melahirkan peradaban Islam yang sangat gemilang, dengan muculnya berbagai macam cabang ilmu. Jika kita membaca sejarah peradaban Islam secara kritis, niscaya akan diketahui bahwa Ilmuwan-ilmwuan Muslim telah memberi kontribusi besar terhadap sains di Barat. Hal ini diakui sendiri oleh sarjana-sarjana Barat, seperti Gustave Le Bon (1841-1931 M), Jean Jaques Risler (1940-2016 M), Rom Landau (1899-1974 M), dan Alfred Guillaume (1888-1965 M). Bahkan banyak literatur yang ditulis oleh sarjana Barat (outsider) dan Timur (insiders) untuk membuktikan hal tersebut.

Ilmuwan Muslim telah berkontribusi dalam berbagai bidang, seperti matematika. Sebagian pendapat mengatakan bahwa kaum Muslim belajar matematika dari orang-orang India. Pada abad ke-9, al-Fazārī telah menerjemahkan sebuah karya matematika India yang sangat terkenal ke dalam bahasa Arab dengan judul Shindind al-Kabīr. Dalam karya tersebut, matematika India telah memperkenalkan angka-angka dari satu sampai sembilan, yang dikenal oleh orang-orang Arab sebagai angka-angka India. Di dunia Barat, angka-angka tersebut dikenal dengan Arabic numbers. Prestasi yang luar biasa bidang ini diraih oleh matematikawan Muslim, Muḥammad bin Mūsā al-Khawārizmī (w. 833 M). Dia telah menemukan angka nol dengan sebutan ṣifr, sebuah kata yang kemudian membentuk kata cipher dan zero dalam bahasa Eropa. Oleh karena itu, sebenarnya telah terjadi sebuah revolusi besar di bidang matematika di dunia Islam abad ke-9.

Selain menemukan angka nol, al-Khawārizmī juga dikenal sebagai perumus “aljabar”, sebuah nama dari cabang matematika, yang diambil langsung dari judul bukunya al-Jabr wa al-Muqābalah. Bahkan namanya secara diam-diam telah diabadikan dalam kata “logaritma”, sebuah teori matematika yang diambil dari kata Inggris algorithm. Pada akhirnya diketahui bahwa nama tersebut merupakan terjemahan atau transliterasi dari al-Khawārizmī sendiri. Dalam bidang kodokteran, ilmuwan Muslim yang terkenal adalah Ibn Sīnā, yang di Barat dikenal dengan Avicenna. Karya medisnya al-Qanūn fī al-Ṭibb (The Canon) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada abad ke-12, dan telah menjadi textbook utama selama 600-700 tahun di universitas-universitas terkenal di Eropa, seperti Oxford, Paris, dan Budapest. Sampai sekarang,  al-Qanūn fī al-Ṭibb tetap dipelajari secara intensif di belahan dunia Islam, terutama di Iran dan Pakistan. Salah satu Universitas di Jerman, menjadikan buku tersebut sebagai buku daras untuk bidang kedokteran. Menurut Goodman, al-Qanūn fī al-Ṭibb tidak hanya membahas persoalan medis, tetapi juga farmasi, farmakologi, dan zoologi, ilmu bedah, dan saraf. Selain menguasai bidang kedokteran dengan baik, Ibn Sina juga menguasai fisika, matematika, psikologi, dan matefisika.

Dalam bidang fisika, ada dua ilmuwan Muslim yang terkenal yaitu al-Birunī (w. 1038 M) dan Ibn Haiṡam (w. 1041 M). Al-Biruni dikenal sebagai ensiklopedis Muslim karena menguasai banyak cabang ilmu, seperti geografi, geologi, matematika, mineralogi, bahkan etnografi. Bahkan ia telah mendahului Newton dalam penemuan hukum gravitasi. Al-Biruni orang yang pertama kali mengkritik pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa pusat gravitasi bersifat ganda; inti bumi untuk unsur tanah dan air, sedangkan langit untuk unsur udara dan api. Hal yang menyebabkan satu unsur melayang, dan yang lain tenggelam adalah karena berat jenis unsur yang berlainan satu sama lain. Dengan eksprimen-eksprimen intensif di laboratium fisikanya, Al-Biruni telah berhasil menentukan gravitasi spesifik (specific gravity) bagi lebih dari dua puluh unsur kimia. Hasilnya masih cukup akurat, bahkan jika dibandingkan dengan ukuran gravitasi spesifik modern. Selain itu, Al-Biruni juga telah berhasil mengukur keliling bumi secara matematis, dengan menggunakan rumus-rumus trigonometri

Selain al-Birumi, Ibn Haitsam yang di dunia Barat dikenal dengan nama Alhazen (dari kata al-Ḥasan, nama depannya), telah menulis sebuah karya besar dalam bidang optik sebanyak tujuh jilid, dengan judul al-Manāẓir. Orang-orang yang sezaman dengan al-Birumi memasukkan karya tersebut dalam kategori fisika, karena optik pada masa itu termasuk kajian fisika. Penemuan paling penting dari karya tersebut adalah yang terkait dengan teori penglihatan (vision). Pada masa al-Biruni, telah berkembang dua teori yang sangat membingungkan tentang penglihatan. Aristoteles serta yang sependapat dengannya, termasuk al-Kindī, mengatakan bahwa kita bisa melihat sebuah objek karena mata kita memancarkan cahaya pada objek tersebut. Sedangkan ahli matematika mengatakan sebaliknya, bahwa kita bisa melihat suatu objek karena objek tersebut memantulkan cahaya pada mata kita. Untuk memecahkan persoalan ini, Ibn Haitsam melakukan eksprimen sendiri terhadap cahaya dan pengaruhnya terhadap mata. Kesimpulannya bahwa pendapat kedualah (ahli matematika) yang benar. Kita dapat melihat sebuah objek karena ia memantulkan cahaya pada kornea mata kita. Sejak saat itu sampai sekarang, pendapat inilah yang dipandang benar dalam teori penglihatan.

Dalam perkembangannya, teori optik Ibn Haitsam ternyata berpengaruh besar terhadap teori optik di Barat. Ilmuan-ilmuan Barat yang terpengaruh oleh teori tersebut antara lain Roger Bacon (1214-1292 M), Witelo/Vitello (1230-1275 M), Peckham, Johannes Kepler (1571-1630 M), dan Isaac Newton (1643-1727 M). Ibn Haitsam telah mengambil langkah-langkah penting dalam memahami spektrum cahaya dan meneliti tentang bagaimana terjadinya pelangi melalui teori refleksi dan refraksi. Ia juga telah mampu menciptakan alat-alat optik, seperti gelas cembung, cekung, dan parabolik, lensa-lensa kacamata, teleskop, bahkan yang pertama menggunakan “camera obcura”, gambar terbalik dalam lensa kamera untuk eksprimen.

Dalam bidang astronomi, ilmuwan Muslim juga banyak, seperti al-Battanī, al-Farghanī, al-Biruni, Nāshiruddīn al-Thūsī (w. 1274 M), Qathbuddīn al-Syīrāzī, al-Majrithi, Ibn Syatir, Ibn al-Nafis (w. 1288), dan lain-lain. Sesuatu yang khas dari astronomi Islam adalah kecenderungannya yang non-Ptolemius. Buku-buku astronomi Muslim sarat dengan kritik tajam terhadap terhadap sistem astronomi Ptolemius yang geosentris. Pemikiran yang mencolok dalam hal ini adalah pemikiran yang dikembangkan oleh Nāshiruddīn al-Thūsī dan Ibn Syātir, yang dikenal dengan “Thusi’s Couple”, yaitu sebuah kaitan antara dau vektor panjang yang sama dan konstan yang berputar pada kecepatan yang konstan. Ini merupakan sebuah modul planeter yang sangat berbeda dengan yang dikembangkan oleh Ptolomeus. Dari semua penjelasan singkat tersebut bisa disimpulkan bahwa Islam telah memberi kontribusi besar dalam perkembangan sains di Dunia Barat secara khusus dan di dunia secara umum. Oleh karena itu, ilmuwan-ilmuwan Muslim tidak bisa dipandang sebelah mata. Semoga ,,,,,,,,,,,,,,,,,

0 Comments

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *