Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan – Sekolah adalah tempat anak-anak belajar bersosialisasi dengan teman-teman sebaya yang memiliki latar belakang, budaya, dan keunikan yang beragam. Sebagai ruang interaksi pertama di luar keluarga, sekolah menyajikan perbedaan yang dapat memicu konflik seperti perundungan atau, sebaliknya, menjadi dasar terbentuknya persahabatan. Hasilnya sangat bergantung pada nilai-nilai, budaya, dan suasana yang diciptakan oleh komunitas sekolah, termasuk guru yang berperan penting membentuk iklim positif. Guru, sebagai pemimpin pembelajaran di dalam maupun luar kelas, memainkan peran utama dalam menanamkan nilai-nilai damai, persahabatan, dan toleransi di antara siswa.
Iklim sekolah—yang dipengaruhi oleh norma, hubungan antar warga sekolah, serta relasi dengan faktor eksternal—sangat berpengaruh terhadap motivasi dan prestasi siswa, bahkan terhadap semangat mengajar guru. Banyak penelitian menunjukkan hubungan erat antara persepsi siswa terhadap suasana sekolah dengan motivasi belajar mereka. Hal ini menegaskan pentingnya peran guru dalam menciptakan suasana sekolah yang mendukung perkembangan positif.
Peran Guru Agama dalam Membangun Budaya Damai
Setiap siswa membawa identitas agama yang diwariskan dari keluarga mereka. Agama sering kali menjadi dasar nilai-nilai baik yang telah terbentuk sebelum anak memasuki sekolah. Namun, perkembangan sosial dapat mengikis pemahaman keagamaan di kalangan siswa, menjauhkan mereka dari nilai-nilai religius yang seharusnya menjadi pedoman dalam berperilaku. Dalam situasi seperti ini, guru agama sering kali menjadi pihak yang dipersalahkan atas perilaku menyimpang siswa, meskipun sebenarnya hal ini menunjukkan besarnya harapan masyarakat terhadap peran pendidikan agama.
Guru agama di sekolah memiliki tanggung jawab besar untuk mengarahkan siswa agar memahami agama secara konstruktif. Pendidikan agama di sekolah adalah instrumen negara untuk membangun pemahaman keagamaan yang selaras dengan cita-cita kerukunan bangsa. Fungsi utama pendidikan agama adalah menjaga kedamaian dan keharmonisan antarumat beragama. Oleh karena itu, guru agama harus memiliki wawasan mendalam tentang ajaran agama, disertai pemahaman tentang multikulturalisme.
Multikulturalisme dan Tantangan Guru Agama
Indonesia adalah negara yang sangat majemuk, sehingga penerimaan terhadap perbedaan adalah bagian dari kenyataan hidup. Multikulturalisme—keberagaman budaya dan keyakinan—adalah sunatullah yang tidak dapat ditentang. Guru agama perlu memahami dan menghargai keberagaman ini agar mampu berdamai dengan perbedaan di lingkungannya. Sikap menghormati keyakinan dan praktik keagamaan orang lain, meskipun berbeda dengan pandangan pribadi, dikenal sebagai agree in disagreement atau bersepakat dalam perbedaan.
Pemahaman multikulturalisme memungkinkan guru agama menjadi pribadi dialogis, yaitu individu yang mampu berdialog secara tulus dan terbuka dengan berbagai pihak. Guru yang dialogis memiliki karakter autentik, menghargai orang lain secara utuh, terbuka terhadap kritik, dan disiplin dalam menjaga konteks pembicaraan. Dengan kualitas ini, guru agama dapat menjadi agen utama dalam membangun budaya damai di sekolah.
Baca Juga : Bersama Mahasiswi KKNT Internasional, Anak-anak SB Ipoh Belajar Membuat Obat Herbal dari Tanaman Jah
Tugas dan Modal Guru Agama
Sebagai pendidik, guru agama memiliki mandat sosial dari orang tua siswa untuk menyampaikan pesan-pesan moral. Secara formal, mereka juga diberi wewenang melalui pendekatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan. Melalui kolaborasi dengan mata pelajaran lain, terutama Pendidikan Kewarganegaraan, guru agama dapat memelihara iklim sekolah yang aman, nyaman, dan damai.
Guru agama memiliki potensi besar untuk membangun budaya damai melalui pendidikan agama.
Author : Albert Aymi Pratama Putra
Sumber Referensi : https://nu.or.id/balitbang-kemenag/membangun-budaya-damai-berbasis-pendidikan-agama-di-sekolah-sGmIW
Sumber Gambar : https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-orang-masyarakat-rakyat-manusia-13389844/